Konon, rasa nasionalisme di kalangan anak muda banyak disangsikan berbagai kalangan, terutama kelompok orang tua. Kelompok orang tua menilai anak muda sudah tidak menghargai kebudayaan bangsa sendiri, bahkan tidak peduli akan permasalahan bangsa.
Namun, beberapa kelompok anak muda mencoba menangkis hal tersebut dengan berbagai cara. Ada yang mendirikan usaha kaus yang desain-desainnya menggambarkan corak tradisional, seperti batik.
Ada pula yang mencoba membuat talkshow yang menampilan kawula muda sebagai pembawa acara
dengan gaya penyampaian yang khas anak muda. Tunjuk saja acara talkshow Provocative Proactive di MetroTV yang digawangi para anak muda.
Acara ini muncul dengan gaya segar, menggarap tema-tema aktual, dan mengkritisi pemerintah, birokrat, ataupun membahas orang-orang yang membuat berita heboh.
Tujuannya untuk memberi masukan bagi berbagai pihak, termasuk para pemimpin, atau orang-orang yang memiliki otoritas, untuk menghadirkan perubahan agar Indonesia menjadi lebih baik.
Menurut produser acara Provocative Proactive, Tristanto Afiarnas, latar belakang acara ini adalah adanya keinginan membuat sajian baru yang langsung menyasar segmen anak muda.
Selama ini, lanjutnya, acara- acara MetroTV, juga sejumlah stasiun televisi swasta lainnya, yang bertajuk talkshow selalu berkesan berat dan hanya diperuntukkan bagi orang tua.
“Berangkat dari persepsi semacam itu, kita ingin membuat acara yang lebih fresh dan sesuai dengan sifat anak muda,” jelasnya. Format Provocative Proactive berbeda dengan acara Democrazy di stasiun yang sama, yang juga menampilkan anak muda, yaitu kalangan mahasiswa.
“Di Provocative Proactive, kita tampilkan berita-berita hangat dan aktual yang ada di media selama seminggu. Selain itu, di segmen akhir, kita menampilkan juga berita positif yaitu keberhasilan- keberhasilan anak bangsa di kancah internasional,” tukasnya.
Tristanto juga menyatakan pihak MetroTV sudah siap bila acara ini dikeluhkan karena menyinggung pihak tertentu, bahkan ada pihak yang ingin menggugat. “Kita tidak menyiapkan secara khusus, namun kita memiliki bagian legal yang pasti siap untuk hal seperti ini.
Yang kami sajikan di acara ini adalah fakta, bukan gosip, jadi kami tidak khawatir,” ujarnya. Penyanyi rap, J Flow, yang bertindak sebagai salah satu host acara ini, mengatakan acara tersebut bertujuan mengajak anak muda Indonesia peduli terhadap negara dan permasalahan yang sedang menimpa negara.
Pemirsa kalangan muda diajak kritis terhadap permasalahan bangsa, namun penyampaiannya disesuaikan dengan gaya anak muda. Menurutnya, acara ini sangat khas anak muda.
Di dalam acara ini, host bebas mengutarakan pendapatnya. Demikian juga tamu yang diundang berhak berbicara apa saja secara bebas. Ia mengatakan tema sudah ditentukan sejak awal.
Pertanyaan juga sudah disiapkan. “Namun saat take, ada improvisasi-improvisasi pertanyaan. Dan itu merupakan hal yang wajar,” ujarnya. Acara ini, menurut J Flow, merupakan acara yang memang diperuntukkan bagi anak muda dan dibawakan oleh anak muda.
Pasalnya, bila acara dibawakan orang tua untuk anak muda, kesan yang kuat adalah menggurui. “Tapi cara penyampaian kita adalah mencoba sharing ke anak muda tentang permasalahan bangsa.
Cara menyampaikannya juga ringan dengan bahasa gaul khas anak muda,” ucapnya. Bila ada pihak yang tersinggung dengan kritikankritikan yang dilontarkan, menurutnya, itu merupakan sebuah hal yang wajar.
Anak muda, menurutnya, punya keinginan atau aspirasi yang ingin didengar oleh penguasa.
Di acara inilah kesempatan mengutarakan hal tersebut. Pergeseran Redefi nisi Iman Syafei, script writer Provocative Proactive, mengatakan awalnya program tersebut ada di radio Hard Rock FM dan merupakan ide dari Pandji Pragiwaksono.
Pihaknya ingin agar acara ini bisa dinikmati oleh seluruh Indonesia karena di radio, jangkauan siarannya terbatas di Jakarta dan sekitarnya saja. Devi Rahmawati, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, mengatakan sudah terjadi pergeseran redefinisi nasionalisme.
Tiap generasi di periode berbeda mengartikan nasionalisme secara berbeda-beda. “Ketika zaman dahulu, saat perjuangan kemerdekaan, pada masa bapak dan ibu masih kecil, mereka mengalami langsung kejadian tersebut.
Ketika diingatkan dengan masa-masa tersebut, pasti hati bapak dan ibu kita akan bergetar karena merasakan langsung,” ujarnya. Lalu, bagaimana dengan anakanak muda yang lahir pada masa setelah tahun 1980? Menurut Devi, nasionalisme seperti itu tidak relevan lagi karena ada pemisah ruang dan waktu yang begitu jauh.
Devi menanggapi positif acara Provocative Proactive yang menampilkan gaya khas anak muda. “Setting talkshow tentang negara juga disesuaikan dengan anak muda. Tempat seperti mal dan kafe menjadi relevan,” ungkapnya.
Demikian juga musik pengiring dan penutup acara Provocative Proactive yang mengusung musik rap, dinilai Devi, sebagai hal yang sesuai dengan jiwa anak muda.
“Kan kalau menampilkan musik keroncong akan tidak nyambung dengan jiwa anak muda. Format boleh beda, tapi yang penting platform-nya adalah nasionalisme,” ujarnya.
Format acara yang menampilkan gaya anak muda, mulai dari tutur bahasa, setting, hingga dibawakan dengan ringan diselingi canda, menurutnya, merupakan nilai plus acara ini.
“Dalam teori media komunikasi, yang terpenting adalah pesannya sampai ke pemirsa,” jelasnya. Berbeda dengan banyak kalangan akademisi yang khawatir globalisasi dan konsumerisme akan mengikis nasionalisme, Devi menyatakan, tidak khawatir akan hal ini.
“Globalisasi memang sudah zamannya, dan penggunaan bahasa Inggris di pergaulan anak muda jangan dianggap akan mengikis nasionalisme karena memang sudah tuntutan zaman. Demikian juga konsumerisme.
Yang menjadi masalah bagaimana kita merestrukturisasi hal ini. Dalam arti tugas pemerintahlah untuk mendorong anak muda menjadi produktif, tidak hanya menjadi konsumen. Produsen kan juga bagian dari konsumerisme,” pungkasnya.
Sabtu, 18 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Geliat Nasionalisme Si Muda
Konon, rasa nasionalisme di kalangan anak muda banyak disangsikan berbagai kalangan, terutama kelompok orang tua. Kelompok orang tua menilai anak muda sudah tidak menghargai kebudayaan bangsa sendiri, bahkan tidak peduli akan permasalahan bangsa.
Namun, beberapa kelompok anak muda mencoba menangkis hal tersebut dengan berbagai cara. Ada yang mendirikan usaha kaus yang desain-desainnya menggambarkan corak tradisional, seperti batik.
Ada pula yang mencoba membuat talkshow yang menampilan kawula muda sebagai pembawa acara
dengan gaya penyampaian yang khas anak muda. Tunjuk saja acara talkshow Provocative Proactive di MetroTV yang digawangi para anak muda.
Acara ini muncul dengan gaya segar, menggarap tema-tema aktual, dan mengkritisi pemerintah, birokrat, ataupun membahas orang-orang yang membuat berita heboh.
Tujuannya untuk memberi masukan bagi berbagai pihak, termasuk para pemimpin, atau orang-orang yang memiliki otoritas, untuk menghadirkan perubahan agar Indonesia menjadi lebih baik.
Menurut produser acara Provocative Proactive, Tristanto Afiarnas, latar belakang acara ini adalah adanya keinginan membuat sajian baru yang langsung menyasar segmen anak muda.
Selama ini, lanjutnya, acara- acara MetroTV, juga sejumlah stasiun televisi swasta lainnya, yang bertajuk talkshow selalu berkesan berat dan hanya diperuntukkan bagi orang tua.
“Berangkat dari persepsi semacam itu, kita ingin membuat acara yang lebih fresh dan sesuai dengan sifat anak muda,” jelasnya. Format Provocative Proactive berbeda dengan acara Democrazy di stasiun yang sama, yang juga menampilkan anak muda, yaitu kalangan mahasiswa.
“Di Provocative Proactive, kita tampilkan berita-berita hangat dan aktual yang ada di media selama seminggu. Selain itu, di segmen akhir, kita menampilkan juga berita positif yaitu keberhasilan- keberhasilan anak bangsa di kancah internasional,” tukasnya.
Tristanto juga menyatakan pihak MetroTV sudah siap bila acara ini dikeluhkan karena menyinggung pihak tertentu, bahkan ada pihak yang ingin menggugat. “Kita tidak menyiapkan secara khusus, namun kita memiliki bagian legal yang pasti siap untuk hal seperti ini.
Yang kami sajikan di acara ini adalah fakta, bukan gosip, jadi kami tidak khawatir,” ujarnya. Penyanyi rap, J Flow, yang bertindak sebagai salah satu host acara ini, mengatakan acara tersebut bertujuan mengajak anak muda Indonesia peduli terhadap negara dan permasalahan yang sedang menimpa negara.
Pemirsa kalangan muda diajak kritis terhadap permasalahan bangsa, namun penyampaiannya disesuaikan dengan gaya anak muda. Menurutnya, acara ini sangat khas anak muda.
Di dalam acara ini, host bebas mengutarakan pendapatnya. Demikian juga tamu yang diundang berhak berbicara apa saja secara bebas. Ia mengatakan tema sudah ditentukan sejak awal.
Pertanyaan juga sudah disiapkan. “Namun saat take, ada improvisasi-improvisasi pertanyaan. Dan itu merupakan hal yang wajar,” ujarnya. Acara ini, menurut J Flow, merupakan acara yang memang diperuntukkan bagi anak muda dan dibawakan oleh anak muda.
Pasalnya, bila acara dibawakan orang tua untuk anak muda, kesan yang kuat adalah menggurui. “Tapi cara penyampaian kita adalah mencoba sharing ke anak muda tentang permasalahan bangsa.
Cara menyampaikannya juga ringan dengan bahasa gaul khas anak muda,” ucapnya. Bila ada pihak yang tersinggung dengan kritikankritikan yang dilontarkan, menurutnya, itu merupakan sebuah hal yang wajar.
Anak muda, menurutnya, punya keinginan atau aspirasi yang ingin didengar oleh penguasa.
Di acara inilah kesempatan mengutarakan hal tersebut. Pergeseran Redefi nisi Iman Syafei, script writer Provocative Proactive, mengatakan awalnya program tersebut ada di radio Hard Rock FM dan merupakan ide dari Pandji Pragiwaksono.
Pihaknya ingin agar acara ini bisa dinikmati oleh seluruh Indonesia karena di radio, jangkauan siarannya terbatas di Jakarta dan sekitarnya saja. Devi Rahmawati, pakar komunikasi dari Universitas Indonesia, mengatakan sudah terjadi pergeseran redefinisi nasionalisme.
Tiap generasi di periode berbeda mengartikan nasionalisme secara berbeda-beda. “Ketika zaman dahulu, saat perjuangan kemerdekaan, pada masa bapak dan ibu masih kecil, mereka mengalami langsung kejadian tersebut.
Ketika diingatkan dengan masa-masa tersebut, pasti hati bapak dan ibu kita akan bergetar karena merasakan langsung,” ujarnya. Lalu, bagaimana dengan anakanak muda yang lahir pada masa setelah tahun 1980? Menurut Devi, nasionalisme seperti itu tidak relevan lagi karena ada pemisah ruang dan waktu yang begitu jauh.
Devi menanggapi positif acara Provocative Proactive yang menampilkan gaya khas anak muda. “Setting talkshow tentang negara juga disesuaikan dengan anak muda. Tempat seperti mal dan kafe menjadi relevan,” ungkapnya.
Demikian juga musik pengiring dan penutup acara Provocative Proactive yang mengusung musik rap, dinilai Devi, sebagai hal yang sesuai dengan jiwa anak muda.
“Kan kalau menampilkan musik keroncong akan tidak nyambung dengan jiwa anak muda. Format boleh beda, tapi yang penting platform-nya adalah nasionalisme,” ujarnya.
Format acara yang menampilkan gaya anak muda, mulai dari tutur bahasa, setting, hingga dibawakan dengan ringan diselingi canda, menurutnya, merupakan nilai plus acara ini.
“Dalam teori media komunikasi, yang terpenting adalah pesannya sampai ke pemirsa,” jelasnya. Berbeda dengan banyak kalangan akademisi yang khawatir globalisasi dan konsumerisme akan mengikis nasionalisme, Devi menyatakan, tidak khawatir akan hal ini.
“Globalisasi memang sudah zamannya, dan penggunaan bahasa Inggris di pergaulan anak muda jangan dianggap akan mengikis nasionalisme karena memang sudah tuntutan zaman. Demikian juga konsumerisme.
Yang menjadi masalah bagaimana kita merestrukturisasi hal ini. Dalam arti tugas pemerintahlah untuk mendorong anak muda menjadi produktif, tidak hanya menjadi konsumen. Produsen kan juga bagian dari konsumerisme,” pungkasnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar on "Geliat Nasionalisme Si Muda"
Posting Komentar